PONDOK CINA

By Afrilia Utami - November 27, 2012


Oleh Afrilia Utami

langit yang perlahan membuncit
di hari tua yang sedang piatu dengan mendung.
rumput yang tergelar sepanjang kepulangan angin-
yang landai mengusap dagu kecemasan.

aku lihat jalan-jalan penuh tikungan
fakultas-fakultas yang kesepian dengan mahasiswa-
yang belajar menumpukan tubuh di atas skripsi barunya.
tapi hujan belum turun di pondok cina yang licin ini.

wisma makara, tempat aku membacakan seribu puisi
untuk negara yang sedang dibangun oleh liur para bedebah.
mencampakkan perkawinan pada pancasila, mendaurnya-
menjadi serapan-serapan amandemen yang hanya bisa hidup
dalam tulisan saja.

aku sungguh takut, ya izzatii robbi...
berilah kami alam yang bersedia menerima kami.
dengan segala macam roja' yang hanya satu kepada-Mu.

di zaman yang entah keseberapa macam lamanya
kita akan berpisah lagi, dengan segala kondisi baru
yang lebih tempramental. dan diri-diri yang bermuncullan
akan autis dengan mimpinya. dengan ketuhan sila pertama
pada pancasila yang telah yatim piatu.

kemarilah, sayang...
dekaplah kembali merah darah yang luber di tanah
karena birahi kekuasaan dan pertentangan
tak uzur membelah batu hitam dari hati yang keras.

kemarilah, manisku...
mari kita kembali pada jalan Allah..
kematian tinggal berjarak sedupa dari ibujari kaki kita.
tidak ada yang benar-benar mampu menguraikan dosa
menjadi pahala yang mengambang dikolam-kolam lumpur
yang tinggal lumpur.

kemarilah, pahlawanku...
bantulah orang-orang dalam jalan dakwah yang tak munafik.
hanya islam agama kami, hanya dengan keridhoan iffah
kita akan benar-benar bertahan dalam serangan
untuk suatu yang kita sebut makna sedalam cinta sejati.
yang tidak pernah melawan esok dengan keingkaran.

aku ingin datang lagi ke tempat yang orang menyebutnya pondok cina.
membacakan kata pamit untuk koruptor,
membacakan makna Allahuakbar untuk sebuah reformasi!

aku akan tetap di sini,
dengan islam, identitasku.

02 Muharram 1434 H

  • Share:

You Might Also Like

0 comments