Essais


Oleh : Jurnal Sastratuhan Hudan

Afrilia Utami
(24 Mei 2011 19:06)

Sepercik Api, Titik Hujan

    lihatlah taman di dadaku
    bermain sepercik bunga api
    dengan titik hujan

Tiap hujan kualirkan matapena, menuju hilir yang tak bernama muara. Mengambil tali layang-layang, dan menarik langit lebih dekat. Agar gerimis lebih jadi hujan di telapak garis tangan. Memang dingin, memang aku yang mengikat dingin ini. Mencari sesudut ruang dengan tungku berjari api unggun. Kubawa dari sisi hujan, masih santun dan anggun. Hujan kali ini bermata curiga, menunggu lagu-lagu gua yang terlahir semata karena waktu, yang sebagiannya kita sebut syurga karena rindu tak lagi berpura.

Dalam surau ini, hujan mengajak bergurau. Sekaratku jadi racau, yang kian kacau. Kelak akan ada hujan yang hangat buatmu seriang dulu. Mengajak cacing tanah, kumbang kembang, para jangkrik, dan belalang-belalang yang baru pulang dari ilalang bersama matahari tua. Saga senja, membawa raga, do'a-do'a kehidupan. Mereka menari depan dada halaman yang kita tanam dengan cara rahasia. Hingga sama lupa, kapan terakhir kali kau jadi pawang pengendali hujan, dengan semerbak bunga yang wanginya ada baumu. Sepercik bunga api. Dari pinggir riak kecil mengalir.

    Biar tubuhku menggigil
    jika kelak aku menjelma tangkai

 Maret 2011



pra-kata


mengapakah seseorang menyebut api, panas itu, dan mengapa pula seseorang yang sama membawa air, ke dalam api-nya yang panas itu? ia memang tak menyebutkan air itu sebagai air, tapi titik hujan, dan, titik hujan bukankah air juga, bukan? barangkali kalau orang biasa yang membawanya, katakanlah orang di rumah tangga, maka api tentu untuk menanak mungkin nasi, dan air itu - kita harus memutar air hujan ke air mineral, tentulah untuk menanak nasi itu: tak kuasa beras itu kita tanak tanpa air walau ada api-nya. dulu ibu mengajarkan kepadaku cara menanak nasi: celupkan jari tengahmu, nak, untuk mengukur kedalaman air dalam panci - panci ini disebutkan juga oleh afrilia kalau tak salah bukan dalam puisi ini (tadi dengan cepat aku melihat semua dunia seni kata katanya dan aku kagum: lama aku termenung di sana, di taman kata kata kawanku di fb ini; terdiam dan merenung, betapa kata kata sudah dibuat orang sedemikian rupa. dan betapa pula tempatnya, religius sekali: sunyi saja di maya). ya, dalam panci itulah kita menanak beras, dengan air dan api yang terjerang di atas mungkin kompor. beras jadi nasi untuk terus menumbuhkan hidup. tapi ini bukanlah keseharian itu: ini puisi, dengan api dan air yang direkatkan ke dada sang aku dalam puisi: aku lirik ini seolah bergumam saja menyebutkan tiap pikirannya, "di sepercik api", ada "titik hujan", katanya.api apa itu? titik hujan apa itu? nyatalah kita tak juga hendak berhenti untuk menjadi mahluk itu: manusia yang bertanya tanya, seolah api dan air itu - saling mungkin menolakkan dirinya masing masing. ya, memang puisi, sebuah dunia angkutan dari dunia luaran - penyair memindah realitas itu ke dalam bahasa - puisi. esai ini hanya kecil saja: merayakan bahasa - puisi.


otonomi sastra

ada juga gunanya untuk dikatakan: mengapa mungkin seseorang atau banyak orang, senang menulis di maya seraya menulis juga di media massa cetak. bahwa di maya tersedia ruang lebar untuk melakukan eksplorasi antara dunia sastra ciptaan kreatif ke dunia gagasan yang boleh jadi adalah ide ide generatif, seperti yang disebutkan oleh susanne langer, dan menarik pendapat david apter yang menulis: ide ide generatif tidak mudah dihasilkan dalam usaha ilmiah, tetapi berkembang dari kontradiksi kontradiksi dan perbedaan perbedaan pendapat yang logis mengenai asas, serta analisa analisa data... apabila ilmu dapat merangsang ide ide itu, maka kita menginginkan ilmu. apabila ia mencekik dan melumpuhkannya, maka ilmu pengetahuan tidak berarti.

selaku sastrawan saya akrab dengan dunia linguistik, seperti banyak sastrawan juga yang mengakrabkan diri dengan bidang yang sama: bahasa - orientasi ilmu linguistik itu. selalu ada gunanya pengelihatan teoritik walau kita selaku sastrawan, dalam mencipta, taklah membawa prinsip prinsip dalam teori untuk membuat novel atau puisi. dalam kerangka ide ide generatif, tentu saja metode ini dimungkinkan, di mana seseorang menciptakan sastra kreatif seraya menciptakan teori dalam sastra. kita belum tahu misalnya mana batas tubuh novel dan mana batas bukan tubuh novel. apakah saat merari membuat "kredo novel" dengan menuliskan "permulaan kalam" dalam novelnya azab dan sengsara, bahwa, "saya mengarang cerita ini, dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah-tengah bangsaku, lebih lebih lagi di antara orang yang berlaki-istri. harap saya diperhatikan oleh pembaca. hal hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini, meskipun seakan akan tiada mungkin dalam pikiran pembaca, adalah benar belaka, cuma waktunya terjadi kuatur - artinya dibuat berturut turut - supaya cerita itu lebih nyata dan terang."

apakah itu luar novel? kalau demikian lalu kita memperlakukannya sebagai bukan isi sastra, bagian sah dari novel merari. tapi bagaimana kalau kita hendak mendorongnya masuk, menjadi bagian sah dari tubuh novel, sehingga ia kini bukanlah lagi semacam pikiran yang menjadi landasan mengapa sang penulis balai pustaka ini memerlukan sastra, dalam memprotes ketimpangan adat yang "mencekik" dunia perempuan waktu itu - mereka tak bisa "keluar" rumah, mereka harus patuh oleh adatnya akan apa dan mengapa hidupnya - dan hasilnya adalah cerita yang amat indah yakni novel azab dan sengsara. indah? untuk ini juga kita menuliskan esai ini: merayakan keindahan ciptaan sastrawan dan penyair, yang memang indah itu. tapi kalau kita mendorongnya masuk, tak kah kita terkena hukum sastra yang dikononkan otonom itu? sastra itu adalah dunia otonom, dan orang sana atau orang sini mengatakan hal yang sama juga: bahwa sastra itu memang dunia otonom. tapi apakah otonom itu? kosakata itu di negeri negara kita kini, adalah daerah mengatur hidupnya sendiri. artinya, melibatkan hak eksistensi. sastra kreatif itu dunia otonom. artinya: ia diciptakan oleh unsur unsur yang dilekatkan oleh sang sastrawan itu sendiri. otonomi yang, kalau kita lihat sastra kita atau sastra luar, memang memperlihatkan suatu cara yang membuka peluang lebar untuk menyimpang. chairil menjauh dari rekan rekannya - rimbaud menulis semusim di neraka seolah novel pendek - tapi puisi. itulah dunia otonomi itu. hak sastrawan untuk melebar ke mana daerah yang ia minati. kalau kini lalu datang pengelihatan teori, apakah teori juga adalah dunia yang otonom? apakah teori sastra adalah semata untuk melihat sastra? bukankah otonom adalah berbahasa yang sama dengan isi konsep yang sama? sastra kreatif adalah dunia otonom, dia mengatur dirinya sendiri, dan ini meniscayakan teori yang hendak masuk pun, adalah sebuah teori yang memiliki kesamaan bahasa terhadap bahasa dunia sastra. tampaknhya pendapat ini meyakinkan, dan untuk itu mari kita turunkan opini teoritik eagleton, akan otonomi sastra ini.




jukstaposisikah itu, atau jukstapose, saat penyair afrilia utami membawakan dirinya, ke dalam sebuah judul puisi, sepercik api, titik hujan? mengapa farez haunt berkata, pada suatu hari, (untuk) hari hari hanyalah sesuatu? penyair memanipulasi bahasa dengan melakukan negasi, seperti negasi mengerikan tapi indah yang dilakukan penyair kurniawan yunianto, dalam puisinya yang lama, telah menjadi bayangan batin bahasa saya atas puisi, akan sebuah keindahan bentuk dari ide yang, boleh jadi tak menyuarakan suara moral setitik hujan pun - atau puisi itu malah, menyuarakan setitik api dari hidup ramai orang ini? ia mengiris badan manusia dan tapi, ia juga mengiris badannya sendiri. irisan yang ia namakan sajak menghapus bekas luka. seolah kulihat keberanian dari sebuah kehendak dari penyair cesilia cesi - aku memanggilnya, ces saja - pada puisi kurniawan. de don hu, kata ces dalam sebuah puisinya, kita mengiris sebuah bekas luka, bisik kurniawan, walau dalam potongan potongan kata dalam sajak tentang manusia.

jika begitu tolong buka bajumu itu, nah sekarang kutangmu juga ya, iya begitu maaf kupegang payudaramu sebentar, bentar kok .

sekarang sudah kusayat daging dadamu, kubuka tulang rusuknya juga ya, maaf jika sedikit sakit, sayang. ahh ya ya sudah kulihat sekarang, ada gurat bekas luka di sana, jangan khawatir akan kuhapus bekas lukamu itu dengan lidahku, tidak akan terasa sakit. hanya butuh satu dua jilatan, percayalah, nah sekarang sudah lenyap bekas luka itu, sebentar akan kutorehkan namaku di sana kau tak keberatan bukan, sebentar ya, iya sayang dengan kecupan yang paling dalam, paling dalam.

bagaimana sekarang ? apa sayang ? oh ya hampir lupa, aduuh maaf ya. sebentar ku kembalikan lagi . sudah kujahit pula sayatan di dadamu . oya sebentar, kupegang lagi payudaramu, nggak papa kan. selesai sudah, tinggal kau pakai lagi kutang itu sekarang, jika kau kedinginan pakailah baju dan jaketku, jika masih terasa dingin itu … lakukan saja hal yang sama, kepadaku.

religius kirikah puisi kurniawan atau kurniawan sebagai penyair - dia yang membuat puisi? dapatkah kita kembalikan bahwa apa yang dituliskannya, adalah suatu cara menangani hidup ini melalui bahasa? tetapi menangani apa? apakah arti membuka rusuk yang tampaknya lamat lamat sebuah pembalikan: bukan rusuk lelaki yang dibuka tapi rusuk perempuan. dan apa pula makna lidah yang dikecupkan? bahasakah itu? bahwa kesakitan yang diderita tiap tubuh kini dihapus dengan lidah dan itu adalah dunia tanda? dengarlah sapaan lembut berulang ulang itu: sayang, yang diucapkan oleh, atau dengan nada, seorang cinta akan hidup. manusia kekasihnyakah yang dibuka tubuhnya dengan pisau bahasanya itu? atau ini yang terjadi: repetisi novelis hemingway saat sedang menghadapi kematian seorang perempuan yang ia cinta segenap kasih: jangan pergi sayang oh jangan pergi sayang. jangan pergi sayang ya tuhan jangan kau ambil dia tuhanku oh tuhanku yang maha penyayang jangan kau ambil dia duhai tuhan yang maha penyayang jangan kau ambil dia tuhanku yang maha penyayang. aku akan berbuata apa saja asal kau jangan ambil dia tuhanku yang maha penyayang. sayang seperti itukah yang sedang diperagakan kurniawan dalam bahasa? bahwa ia memanipulasi tubuh dalam bahasa dan bahwa karena itu, sang penyair sedang melakukan permainan negasi dengan bahasanya. sayang yang di akhir puisi kita lihat membalik ke tubuh aku dalam puisi itu sendiri.

tiap pembalikan memang tak terhindarkan dalam bahasa, dari dia-kata yang hendak membawa hati-kita ke dunia tanda dengan lambang lambangnya. seperti sulis gingsul yang melebar dengan membawa bumi ke langit. tak naik lagi, hanya terhenti di langit - dan kita pun menangkap, atau melihat, sebuah lanskap bahasa di sana.
**
Ganjar d aveiro
dadu

“sejak mula kau dijatuhkan
aku ingin kau berhenti”

Tiba - tiba di suatu malam aku menuliskan kata – kata itu. Malam itu aku seperti mendengar dadu jatuh dan menggelinding. Kemudian, aku terpikir tentang dadu itu. Ketika dadu dilemparkan, kita hanya mampu menunggunya berhenti. Berdegup menghitung kemungkinan, dari angka satu sampai enam. Angka berapa yang kelak akan muncul. Kukira dadu tak harus dibebani suatu kata yang memberatkan yaitu pertaruhan. Meski kita semua tahu pada saat dadu dilemparkan kita telah bersiap untuk kecewa karena hanya akan ada satu kemungkinan angka yang akan muncul. Apakah kita akan kecewa ketika angka yang muncul dari dadu tersebut tak sesuai dengan yang kita harapkan. Mungkin, padahal kita tahu kita tak mungkin selalu benar menebak tapi kita selalu berusaha menebak sesuatu. Semacam telah mempersiapkan luka itu sendiri, tanpa sadar. Sepertinya, sebuah peristiwa kadang akan hadir seperti itu. Begitu saja terjadi. Terlempar,menggelinding dan berhenti. Sedangkan kita hanya mampu menerka kemungkinan serta situasi yang mungkin timbul. Peristiwa – peristiwa itu tak akan berhenti. Akan terus begitu, entah sampai kapan. Mengulang kemenjadian secara terus menerus. Tapi, terkadang aku ingin dadu itu sejenak berhenti. Memberikan padaku sedikit jeda. Bukan untuk meredakan atau menyembuhkan luka. Tapi sekedar mengambil jarak dan coba memahami peristiwa – peristiwa itu. Dadu yang jatuh, menggelinding di rongga dada. Kita.   


Prinsip kritik sastra – kata

kerja kritik sastra akan meleset, dalam pengelihatan saya, apa bila kita mengulang, misal apa yang dikerjakan oleh subagio atas chairil walau, ia telah berhasil menyingkapkan orientasi budaya chairil. kurang lebih manneke budiman menulis, dalam makalahnya atas buku ignas kleden, enam pertanyaan sastra indonesia, bahwa buku ignas yang cemerlang mengingatkan dia akan kecemerlangan kerja kritikus subagio dalam bukunya “sosok pribadi dalam sajak”. kini saya berhadapan dengan puisi banyak penyair, dari para penyair yang belum mencatatkan dirinya secara kukuh dipanggung sejarah sastra kita. seandainya ilmu sastra itu, yang mengandung aspek sejarah dan sejarah para penyair maya masa kini tanpa sejarah, dan oleh itu lalu mereka tak bisa masuk ke lubang sejarah sastra indonesia yang dijaga oleh "datu datu" (ke mana datu datu ini kini?), maka baiklah kita kenakan sebuah ucapan yang dikatakan orang: kami tak menginginkan ilmu kalau demikian. sebab apa? karena puisi, baik buku puisi atau, sebuah puisi terentang sendirian, atau kita renggutkan dari buku puisi, adalah sebuah ciptaan yang, kalau dia berhasil, tak suatu ilmu sastra pun dengan paradigma apapun, boleh dan memiliki hak untuk menolak capaian puisi itu - kalau puisi ini pun, memang berhasil mencapai sesuatu.

sebuah puisi memang merentang ke masa lalu, dan apakah ia akan kita bingkai ke dalam salah satu bagian dari ilmu sastra yakni sejarah ide ide puisi, atau sejarah bahasa juga. atau sebuah gerak intertekstualitas dalam teks teks ke masa lalu atau teks teks ke masa kini, seperti yang dijadikan perspektif kerja julia kristeva, rasanya kita bisa mengembalikan semua itu ke alam, alam yang melahirkan bahasa di mana satuan bahasa, yakni kata, adalah satuan yang berputar dalam gerak riwayat manusia sedunia yang berdiam di dalam alam. pada kata, kata dari alam, atau lebih tepat lagi dari benda, lah sebuah peluang untuk tak mesti kritik sastra, harus bergulat ke sejarah sastra misal, seseorang belum mengukuhkan dirinya sebagai suatu riwayat dari riwayat sejarah sastra negerinya. karena itu dan untuk itu, saat misal kita bertemu dengan sebuah puisi, dan lalu pertemuan pertama ini melahirkan rangkai pertemuan kedua dengan, mengacukan puisi yang kita temukan itu kepada puisi atau buku puisi yang telah menjadi sejarah sastra kita, maka metodologi ini, dengan satuan kata yang kelak akan kita lihat secara intens, itu dimungkinkan, dan ini bukanlah suatu pekerjaan yang menggadang, mencari cari, mengada ngada. itu suatu pertemuan yang biasa saja, dari seolah tiap manusia yang bertemu dengan alamnya, hidup dengan alamnya, di suatu masa di suatu tempat. rendevouz seperti itu, memungkinkan kita bisa menghadapi ilmu sastra secara ringan tanpa beban.

lagi pula bukanlah kehendak kita untuk melucuti masa lalu dengan menggeledahnya, dengan masa kini, tapi semata sebuah sandingan dari, katakanlah konsonan dari masa kini melambai ke vokal dari masa lalunya. sehingga masa lalu itu kita lihat pula sebagai watak sejati satu kata, yakni perpaduan, atau gerak saling memanggil, dari vokal masa lalu ke konsonan masa kini. Boleh juga dibalik: vokal masa kini memanggil konsonan masa lalunya. sehingga kelengkapan itu bisa menjadi sebuah gerak yang tak terputus, atau diputus. sehingga seperti kata dalam bahasa, sebuah kata selalu dan mesti, memiliki aspek demokratis dengan membagikan ruang dalam dirinya, bagi tiap huruf yang hendak membentuk, kata yang adalah dirinya sendiri.

misal saya, dalam upaya membuat suatu bandingan puisi, bergerak dari puisi yang boleh kita anggap bahasa, atau kita letakkan saja ke dalam keadaan hidup nyata kita ini, adalah sebuah puisi devi maya, rumah kosong, maka rumah kosong ini adalah bahasa, puisi, yang dari judulnya saja adalah sebuah keindahan dari dua kata yang, tampaknya, saling menyediakan diri untuk kita masuki sebagai sebuah bahasa. tapi saya melampauinya dengan mengacukan, atau melompatinya, ke dalam sibuk dengan tema seperti yang diperlihatkan oleh subagio atas kerjanya terhadap chairil, atau separuh sibuk-tema dari kerja teeuw atas sapardi, tanpa menghitung, bagaimana satuan dari tiap kata, kata rumah dan kata kosong, bisa melambaikan dari dirinya sebuah keindahan kepada kita pembaca puisi, keindahan yang terus berterjunan akibat rumah kosong, dibawa devi maya turun terus, hingga puisi itu selesai mengucapkan dirinya. 

rumah kosong sebagai suatu diksi, adalah rumah kosong dari kehidupan dunia tanpa manusianya. atau dunia tanpa kesibukan dari manusianya. tetapi dunia semacam itu, adalah dunia yang tidak mungkin. jauh sebelum manusia dan dunia ini sendiri sebagai suatu nasib yang digariskan, adalah benda jatuh - jatuh dari langit ke bumi, langit sendiri sudah sibuk menghitung, dengan konsep dan praksis konsepnya, sehingga langit, tak kosong seperti tampaknya (kalau kita baca dengan mata telanjang). maka rumah kosong devi maya ini, berhasil sebagai sebuah lambang, sebagai sebuah simbol, dari gemuruhnya rumah hati manusia kalau dunia hendak kita balikkan ke sempitannya sendiri. yakni tubuh. atau rumah kosong itu adalah tema yang, dijemput penyair lain kalau ia kita kembalikan kepada dunia yang saling mengintertekskan dirinya: rumah itu bukanlah tipikal milik devi maya. ia juga rupanya milik dunia sunyi senyap penyair ganjar, farez haunts, sulis gingsul, atau afrilia atau husni hamisi.

disana ada kertas kosong
dalam almari
tertempel di depan pintu
di atas meja
di dapur
di ruang tamu
kamar tidur
dan masih kosong

tapi dengan cara apa, para penyair sezaman devi maya atau devi maya sezaman dengan mereka ini menjemput, atau, melakukan penjemputan, atas "rumah kosong" devi maya ini, sebuah "rumah kosong" yang telah membuat sitor situmorang berdesir di pantainya, ingat lagi bahwa sebenarnya dia tidaklah pulang walau fisik badannya telah bersatu dengan "rumah gadang". puisi ini tak menceritakan dirinya sendiri. aku lirik dalam puisi ini, bahkan tampak pasif. kita meliriknya bukan dari sang aku yang mengucapkan dirinya seperti misal puisi farez atau ganjar, tapi "orang lain" yang bercerita sehingga pasifnya sang aku di dalam puisi, tampak membuat kehampaan itu mengambang ke dalam bayangan imaji dari imajinasi yang bisa kita rabaan fisiknya sang ibu, sang ayah yang tampak acuh tak acuh akan pulangnya si anak, serta "dunia jauh" yang menjadi dunia tualang "si anak hilang" ini. hanya itu yang kita tahu. selebihnya kita dikunci oleh suatu senyap hampa oleh laut dan pantainya serta gelombangnya, yang dibawa masuk oleh juru bicara ke rumah gadang itu.

"di pantai pasir berdesir gelombang
tahu si anak tiada pulang".

jadi itulah dia isi rumah kosong devi maya tadi, adalah sebuah buku terbuka dan buku itu bukan terbuka ke dalam, tapi terbuka keluar - sebuah tualang. tualang yang diberi bentuk dengan simbolik dadu oleh ganjar. bahwa hidup itu seperti dadu, dan kita hendak menahan kejatuhan dadu.

(menahan jatuhnya nasib, dengan
tangan kita yang ringkih ini).

“sejak mula kau dijatuhkan
aku ingin kau berhenti”

kata ganjar.

(siapakah yang bersuara? ganjar, atau, aku lirik dalam
puisi ganjar?
ataukah bahasa, yang bersuara? atau,
manusia yang keluar melalui bahasa?)

jelas baik ganjar atau devi maya, melakukan pemakaian bahasa paradoks seperti yang dikutipkan jonathan culler di bukunya sturkturalist poetics dari Cleanth brooks, bahwa "the language of poetry is the language of paradox".  dan, kita boleh berhenti sebentar, untuk bertanya, atau bahasa yang paradoks, atau alam alias benda benda serta, kelak kita akan menerobosnya, siapakah pembuat alam dan benda benda itu, yang paradoks? sehingga para penyair menggunakannya dalam bahasa puisi. maka tampak lagi, bahwa bahasa, atau puisi, tak hidup tanpa benda-benda, atau alam ini. lihatlah keadaan rumah kosong devi maya sebagai judul, atau peristiwa yang menjadi awalan dengan italic dalam puisi ganjar: keduanya terkena tenaga tarik menarik dari suatu kontradiksi, syarat bahasa paradoks itu. rumah yang semestinya isi, tapi langsung dibawa penyair ke daerah kosong, tak isi - rumah kosong.

(lalu siapa/apakah isinya rumah itu? kelak kita tahu isinya adalah hiruk yang diceritakan dengan diam oleh devi). atau pada ganjar: serentak "benda" itu dijatuhkan, serentak pula "tangan tak kelihatan" ingin menahan jatuhan benda.

tubuh chairil anwar adalah tubuh yang nyata. ia adalah anak kebudayaan indonesia, bergerak dari masa lalu pantun, dan melakukan penjemputan atas sastra modern dengan bahasa puisi yang, oleh fasilitas kekacauan dunia modern di mana bentuk nyata hidup seakan, menjadi formless oleh, perang dunia pertama atau kedua yang telah, oleh kaum seniman, menjadi bentuk kerja pula dalam kesenian mereka. (apakah bentuk kerja kita kini atas kenyataan indonesia kekinian kini?) tampaknya tak ada yang kuasa melepaskan diri dari latar badan yang terkebat ke dunia alaman tempat kita berdiam ini. marx separuh benar saat berkata: realitas dalam ditentukan oleh realitas luar, sebuah tema menarik saat kelak kita muncul dengan segenap kekuatan atas wacana, di luar bahasa; kenyataan demikian itu pula yang melambai ke dalam bahasa para penyair, juga penyair chairil. puisi, pun, akibatnya, melepaskan diri dari bentuk lama semisal pantun. kini puisi bergerak bebas, dan dalam kebebasan itu, jiwa sang penyair meledak dalam tumpukan bahasa lama dan pergi ke daerah bahasa barunya - eropa, dalam kasus chairil, yang telah diungkap dengan bagus oleh kerja kritik subagio itu.

dalam kehendak mengikuti bahasa, kata, adalah lambang, maka jiwa saya pun pergi ke daerah lambang dengan, pertama tama, menarik ke luar kerja para seniman kata di daerah facebook ini, yakni membuat tempat melompat dan itu adalah rumah bahasa devi maya - rumah kosong yang, baik oleh devi atau oleh ganjar ini, telah diisikan dengan nasib manusia. ganjar menepuk bahasa, dan bahasa seolah gelombang air yang ditepuk tepuk oleh tangan penyair.

kata ganjar,

“sejak mula kau dijatuhkan
aku ingin kau berhenti”

kita boleh membawa sejarah puisi kita ke sini, untuk menghadapi dadu kata penyair ganjar ini. bertemu di tikungan sejarah dengan penyair amir hamzah, yang melambai ke arah ganjar (atau, ganjar yang melambaikan tangannya ke penyair amir hamzah?):

"mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas?

bagi saya itu adalah dua ucapan yang mendebarkan, dua permainan lambang dalam bahasa, yang sama mengabarkan suatu paradoks. kalau amir memakaikan irama keras: mangsa aku dalam cakarmu, dan menceritakan dalam bahasanya akan suatu nasib yang luput seakan tangan yang telah memegang tapi terlepas kembali, maka ganjar menyetop nasib itu dengan kata kata yang dibawanya membalik: "sejak mula kau dijatuhkan, aku ingin kau berhenti", katanya. tapi dunia "bertukar tangkap dengan lepas" itu tampak, adalah sebuah dunia yang tiada akhirnya. dia ada, sebagai nasib diri yang seolah dadu. dia ada, seperti yang dituliskan amir pada baris awal puisinya: pulang kembali aku padamu/seperti dulu. selalu kita pulang ke sana, setelah jauh mengembara atau, setelah dadu itu diputar, berhenti dengan angka-nya. dia ada. kata ganjar, adanya adalah ada dalam "dada kita". dia tiada, adanya dalam ruang sadar kita yang tak kelihatan, seperti tuhan, ada dalam ketiadaannya. adanya tampak dalam jejak dunia dan seisinya ini. mana dia? dia tiada, sebagai sang maha kesadaran, sebagai petanda dalam tubuh pertandanya - dunia ini. kelak, dan inilah yang saya katakan menarik itu, bagaimana kita hendak, meletakkan semuanya ke dalam, apa yang disebutkan orang dari gejala sebagai, "makna yang dihasilkan oleh bahasa". tidakkah sang tiada itu, yang telah membuat semua yang ada ini? sedangkan sang tiada sendiri, tak tampak, tak hadir, sebagai ada dalam dunia indra luar manusia.

seperti yang ditulis oleh terry eagleton,

"ciri khas dari 'revolusi linguistik abad kedua puluh, dari saussure dan wittgenstein hingga teori sastra kontemporer, adalah pengakuan bahwa makna bukan hanya sesuatu yang 'dieskpresikan' atau 'direfleksikan' oleh bahasa: makna sesungguhnya dihasilkan oleh bahasa."

lihaltah, lagi lagi, kita melihat wajah sang tiada yang berkata, ke mana pun kamu memandang, di sana wajahku juga. seperti saat kita melihat, wajah mayat gembira baudelaire, yang memandang ke arah tiang kiri hidup ini, tapi tak juga urung menyembunyikan wajahnya juga itu, dalam, dan pada, bentuk ucapannya yang mengironikan ada wajah lain yang tak kelihatan, penyebab "siksaan" ini. apakah penyebab "siksaan' ini? sebuah buku semiotik milik negeri kita sendiri, membawa ucapan lokal dan itu adalah artifak dengan, "mengkaji tanda dalam artifak (ekm asinambow dan rahayu s hidayat). mengarahkan diri ke lokal budaya kita sendiri. adalah budaya arsitektur, rumah adat, betapa rumah adat orang dulu, bukan seakan terlepas lanskap saja seperti rumah modern kita kini - yang tegak berdiri seakan hendak menantang ke arah langit. tapi rumah religius dengan pelbagai tanda fisik rumah dan kembalian tanda sebagai ucapan lokal. "matahari dikenal oleh orang toraja dengan nama allo. dalam kaitan dengan hunian, matahari dan ayam jantn merupakan pasangan yang penting dalam memberi tanda bahwa pemilik bangunan yang bersangkutan elah memberikan persembahan pesta adat: mangara banua. kita tak hendak masuk sampai ke sini, hanya hendak "merenggutkan" kata lokal, tanda, sebagai memiliki keping pertanda yakni tanda allo/matahari dengan isian petandanya di balik/penguasa matahari.

sambil mencoba coba membayangkan tiap diksi dalam sastra kreatif pun diksi dalam ilmu pengetahuan sosial atau alam, menyelam ke dalam artifak bahasa negeri kita sendiri atau, misal pada kata "allo" ini, seberapa kuat ia bisa menjelma sebagai frasa dalam ilmu pengetahuan? untuk kasus pengelihatan kini kini, cukuplah bagi kita untuk bertanya: adakah "allo" ini yang telah mendatangkan pelbagai "siksaan" yang dikatakan baulderai? ia kan penyebab rumah kosong devi maya? dadu ganjar? nasib berputar bagaikan ikan dan bagai layang layang dalam puisi lambangik sulis gingsul? atau, ia jugakah penyebab afrilia berumah sunyi senyap dalam bahasa puisinya? farez terduduk diam di kursi matinya, sebagai bayang diri atau memang dunia nyata dari fisiknya sendiri - tubuh aku-puisi penyair farez haunts. bagaimana kalau kita kelak memutar tubuh-fakta chairil anwar atau tubuh-budaya sang penyair binatang jalang ini, ke dalam putaran tubuh kami bersama yang kena pedasnya hidup oleh keritingnya hati dari penyair penuh gaya dalam bahasa (sosial) husni hamisi? semua adalah tanda dan semua orang, di semua dunia, sibuk dengan pencarian tanda dari negerinya sendiri: di sana orang menawar saussure dengan menemukan gejala memakan steak atau minum anggur, dan keluar dengan rumusan tanda yang baru yakni mitologi. maka menjadi penting dan layak untuk kita ayunkan: kita menghasilkan ucapan baru apa? dalam kedudukan negeri dan manusia manusia yang telah dimerdekakan 66 tahun lamanya ini? ataukah kita tak menghasilkan apa apa, ataukah kita hendak terus menyelam menemukan (allo) kita sendiri dan membuatkan artifak teori pengetahuan masa kini darinya? semua terpulang kepada diksi yang boleh kita ucapkan dalam gaya remaja: terserah km aja. afalah gt.

bahasa saling menginterteks dengan diam, dan ada kebenaran juga pada kata kata roland barthes bahwa saat teks lahir pengarangnya telah mati. tak lagi mungkin, farez saling berkedip mata untuk tuai menuaikan teks teks sepi dalam puisinya. bahasa itu sendiri saja yang, oleh sifatnya, saling menyeberangi dan lintas melintasi sepinya sendiri. apabila ganjar menepuk nepuk hatinya ke dalam ayunan tanda tanda dari bahasa dadu nasib manusia, maka pada farez dadu itu bukan ia tepuk tepuk akan kemungkinanya, tapi ia hayati sebagai nasib dirinya sendiri yang mengharukan saat ia pertanyakan: aku ini sebenarnya sudah mati atau masih hidup. mengapa demikian sepi hidup ini sehingga, untuk mendengar "suara", atau untuk bertemu dengan sesorang, sang penyair pun harus, dan meminta kepada dirinya sendiri agar, memecah jadi bayang bayang. ruang apa itu, sehingga orang lain tak lagi ada? sehingga yang muncul adalah diri sang aku lirik sendiri dalam puisi. mengapa aku di sana mengisolasikan dirinya secara itu? kita bisa menerobos dan itu, mesti dan harus, kita serahkan kepada imajinasi akan suatu yang menghilang dalam puisi: puisi menyembunyikan dirinya dari gerak gerik alur seolah dalam prosa, dari gerak gerik plot yang dititikan ke dalam alur oleh banyak pengarang. puisi mengisapnya ke dalam setiap kata yang mengasosiasi, membawa masa lalu ke dalam asing yang disimpan dari, atau pada, kata kata dalam puisi. apa yang telah terjadi pada masa lalu aku dalam puisi farez? the story of the dead, katanya membahasakan judulnya untuk kita hayati. cerita apa dan kematian seperti apa, yang merayap ada di masa lalunya dan kini merayap menempuh waktu masuk ke dalam, berdiam pada, puisi. dan, adalah menarik melihat farez haunt melakukan pemecahan diri ke dalam bahasa sepi senyap dalam puisinya itu.

kelemahan metodologi a teeuw dalam perbincangan tritunggal tentang waktu, dan kursi mati farez haunts

bagi saya kritikus terkenal ini, telah menyia nyiakan ruang lebar saat ia, bukan malah masuk menikmati keindahan tiga puisi sapardi ketika, ia sibuk mengurusi apakah tiga puisi itu, berkait satu sama lain. puisi akhirnya kata dan kata, dalam bahasa, adalah rangkai tanda yang seolah lautan: menimbulkan gelombang. gelombang apakah misal yang kita dapat, saat demikian intens penyair sapardi mengucapkan dunia yang unik itu: waktu seorang bertahan di sini/di luar para pengiring jenazah menanti. gelombang yang harus cepat kita tangkap, kita ungkap.

bagi saya sebuah tulisan adalah seolah sandiwara, atau sebuah film, pun seakan novel atau, kalau hendak diringkas: pun esai atau ilmu sastra itu, memiliki keindahannya sendiri walau ia, tetaplah pemikiran diskursif. cara teeuw masuk ke dalam tiga puisi sapardi ini, memang memberikan suatu, atau membawakan dirinya ke, soal waktu: adakah waktu di tiga puisi itu memang, saling merangkai. bahwa "saat sebelum berangkat" memang mengait, ke "berjalan di belakang jenazah" atau, "berjalan di belakang jenazah" itu adalah sebuah gerak bahasa yang melambaikan dirinya ke muka: ke "sehabis mengantar jenazah". inilah trigunggal tentang waktu yang dikatakan oleh kritikus yang banyak dipuja di negeri kita ini, tapi, misal saat berhadapan dengan puisi sutardji, "ilmunya" seakan terdiam, tak kuasa menembus terutama, kredo sang presiden penyair yang ampuh itu.

kata teeuw,

soal apakah sebuah sajak harus dibaca, dipahami dan ditafsirkan sendiri, tanpa memanfaatkan bahan atau berian (data) luar sering diperbincangkan dalam buku mengenai ilmu sastra atau kritik sastra. hubungan lahir dan/atau batin antara beberapa sajak dalam karya lengkap atau dalam sebuah kumpulan sajak seorang penyair merupakan contoh khusus masalah ini. adakalnya penyair itu sendiri memberi petunjuk tentang hubungan antara dua atau lebih banyak sajak, dalam cara sajak itu diterbitkan, disajikan, ataupun dalam berbagai macam acuan atau petunjuk dll. dalam kumpulan dukamu abadi ada sebuah contoh yang jelas: pada halaman 44 disajikan yang disebut dua sajak di bawah satu nama, dicetak pada satu halaman, hanya dibedakan dengan angka rumawi I dan II. lagi pula sepintas lalu sudah menjadi jelas bahwa dari segi isinya pun dua sajak ini sangat erat berhubungan satu dengan yang lain: kedua duanya berpokok tentang pembunuhan abel oleh kain..."

demikian awalan yang dibuat prof a teeuw pada "tritunggal tentang waktu". sebuah start yang lambat sekali dan, kalau kita mengembalikan puisi adalah kata, ke kata dan, bahwa sebuah puisi, apakah terutama untuk dijadikan tubuh bahasa yang tergeletak di meja operasi, atau bahasa yang kita peluk, kita dekap, sebagai suatu model ekspresi manusia yang luar biasa unik - puisi itu, sehingga cara pandang ini, akan menentukan kita atas puisi itu sendiri. tentu saja tak ada yang salah, dengan cara a teeuw, tapi bagi saya, itu adalah metode yang demikian lambat untuk sampai kepada pokok soalnya.

seperti pada kerja kritik subagio, pada teeuw pun kelak kita akan membandingkannya saat melakukan close reading atas puisi para penyair, untuk memperlihatkan, apakah rahasia rahasia dari gelombang kata dalam puisi, dapat ditembus, disingkapkan, dengan cara kerja yang hendak kita cari dan yang paling memungkinkan untuk maksud ini. kini kita akan memperlihatkan dahulu kesamaan tema antara puisi sapardi dan puisi farez atau puisi penyair lain facebook. kalau sapardi, dalam tiga puisinya yang disebut teeuw sebagai "tritunggal akan mati", maka saya melihat "mati" ini juga dimainkan oleh farez dalam puisinya "the story of the dead", dan apakah perbedaan, kalau mungkin ada, dari "keempat" puisi ini? inilah yang hendak saya lihat. seperti hendak saya lihat juga di puisi puisi afrilia utami atau cheko waynee - dua orang penyair yang memainkan ruang senyap sunyi, penuh isi dalam bentukkan kata religius kanan, yang kelak kita bandingkan dengan religius kiri misal seperti dalam puisi bauldelaire. apakah sesungguhnya isi puisi puisi mereka. apakah, meminjam puisi yang memukau dari penyair cheko, isi dari "sembilan pena milikmu yang kusimpan" ini.

dapat kita tanyakan, dalam istilah yang kelak di bab khusus buku ini, tentang bahasa hitam dan bahasa putih, yang bentuknya adalah puisi dengan corak religius kanan dan religius kiri (puisi afrilia, para jejak, religius kanankah dia? dan apakah yang membedakan religius kanan puisi afrilia dengan misal puisi erry amanda erry, kilas sebuah sejarah kecil?), apakah, atau benarkah, tritunggal tentang waktu sapardi djoko damono itu, adalah religius kiri bahkan, sebuah pemberontakan dari cara dan corak khas ateisme bertanya? ataukah, justru kritikusnya, dalam hal ini a teeuw, yang menggayakan diri ke dalam diksi ucapan ateis saat melihat puisi.

"jadi masih adakah?" kata teeuw tentang puisi sapardi, sehabis mengantar jenazah, di bukunya, tergantung pada kata. "Pertanyaan retoris dalam larik pertama itu sekarang, dalam bait ke tiga, sudah terjawab secara mengejutkan; dan jawabn itu diperhebat lagi oleh jawab yang berikut, yang juga bersifat retoris pula: alangkah angkuhnya langit, alangkah angkuhnya pintu. sekarang baru jelas mengapa pertanyaan tadi retoris: sebab langit dan pintu (sebagai lambang maut) tidak mengizinkan dialog, secara sangat angkuh, otoriter memutuskan segala-galanya, tidak mengenal ampun kasihan. pintu gua cukup jelas perlambangannya: kematian. manusia seluruhnya akan ditelan oleh gua, kecuali kenangan, satu satunya yang ditinggalkan, satu satunya hiburan; yang lain menjadi sepi tiba tiba: dunia yang tak habisnya bercakap... /menjadi sepi: jelas pula bahwa pintu gua, kuburan disamakan dengan langit; malahan dapat dikatakan bahwa kata pintu dan gua menafsirkan, memparaprasirkan kata langit, yang sekali lagi menghubungkan sajak ini dengan sajak II: langit yang bukan milik kita, tetapi yang menjadi pengiring, pelaksana waktu, tempat matahari yang bergeser terus. dengan demikian langit memang menjadi pengkhianat manusia yang mengecewakan harapannya:

jarak
dan adam turun di hutan hutan
mengabur dalam dongenang
dan kita tiba tiba di sini
tengadah ke langit: kosong sepi...

langit sudah kosong seperti waktu sendiri, yang menghirup jam kehidupan manusia tanpa meninggalkan apa pun juga, kecuali kenangan.

demikianlah hasil usaha saya untuk merebut kembali makna yang padu dan koheren dari tiga sajak ini. dalam interpretasi saya hampir tidak ada sebuah kata yang tidak dapat diberi fungsi dalam keseluruhan tritunggal ini. tritunggal yang memang ternyata merupakan tritunggal, tiga serangkai, yang tidak mungkin ditafsirkan dan difahami seluruhnya kalau tidak digabung seerat eratnya..."

apa kata farez tentang mati, atau tentang sunyi. farez tak seperti sapardi naik ke langit tapi tetap di bumi. di kursi dan di ruangnya, ia berputar, berpilin pilin dari satu senyap begitu rupa akan hidup. mengasing, dari dunia yang juga mengasing. siapakah sebenarnya yang asing ini? kita atau dunia? dunia asing dari apa? tapi kita, asing dari apa pula manusia yang bisa memberi makna ini. tapi kalau farez berputar putar di ruang dan akhirnya berhenti di kursinya, tidak demikian dengan penyair rekan segenerasinya pemuja ruang senyap dan sepi juga dalam puisi - adakah yang lebih berharga, pada dan di dalam bahasa, kecuali hiruk yang kita tekuk ke dalam, satu gerak transendental benda-kata sehingga, tiap kata-benda kini bergerak, menembus ke langit atau tetap terdampar di bumi, tapi telah berurai air mata duka bahagia: ia/mereka bukan kata-benda atau benda-kata lagi, sebagaimana tampaknya, tapi, walau bukan pula sebagaimana seharusnya, telah diberi arah arah lain, semacam dugaan, akan suatu mungkin keabadian yang datang dari tuhan - hal yang luput pada farez tapi lamat lamat hidup pada ganjar; tapi luputkah ia pada sapardi atau pada amir yang dicatat dengan gaya miring ke kiri baik oleh teeuw atau keith fouclcher akan puisi padamu jua amir hamzah?), misal puisi puisi afrilia utami. afrilia bergerak agak menjauh dari farez - ia sedikit naik ke langit dan sedikit turun ke bumi. lalu menyetop langit dan bumi ke badannya sendiri. memberhentikan dua tangkup ruang dan waktu, ke tubuh manusia. ia berkata dalam puisinya yang demikian simbolik, seolah mendinginkan kepala kepala mereka sang pencari yang telah menghujani langit dengan api dan langit, pun membalas dengan hujan api yang tak kalah pula sengitnya. kata afrilia, inilah, "sepercik api, titik hujan". kau dengar farez kataku? kau dengar sapardi kataku? inilah penawar luka luka dari dukamu abadi itu. adalah sepercik api "yang dimatikan" titik hujan.

bagi saya bahasa adalah potongan potongan kaca, seperti cermin yang kerap kita jenguk itu, adalah potongan potongan kaca dan dengan tehnik, potongan potongan kaca itu menjadi cermin di mana, tak lagi terlihat bahwa ia adalah, atau terbuat dari, pecahan pecahan kaca. yang kini kita hadapi adalah cermin yang sempurna: permukaannya halus tak terlihat sambungannya. mulus licin seolah wajah bayi. begitulah kata itu menjadi potongan potongan cermin yakni bahasa - boleh puisi boleh juga ilmu atau, apapun serta dengan cara apa pun ekspresi itu hendak kita tempuh. kata menjadi potongan potongan kaca, membentuk seolah papan kaca sebesar diri manusia atau, sebulat seakan wajah kita. maka sebagai galibnya dalam hidup kita menjenguk diri ke dalam cermin, di mana kita mungkin, membiarkan saja "aku" di sana atau, mungkin menyimpangkannya, demikian juga bahasa sebagai cermin yang struktur dirinya dari potongan potongan kaca yang menyusunkan dirinya - dengan cara seolah kaca itu: dibiarkan saja apa adanya, atau disimpangkan ke arah arahnya.

adalah menarik membandingkan dua modus saat diri menjenguk ke dalam cermin, menembusnya dan kini berdiri ke balik cermin, dalam saat kita melakukan hal sama pada puisi: menjenguk kata atau menembus ke balik kata. seolah dalam, atau saat menghadapi cermin, kita pun dalam atau saat menghadapi kata, melakukan gerak gerak dengan arah gerak pada cermin atau pada kata. gerak apakah yang kita lakukan di sana? sekali lagi: kita bisa melakukan afirmasi diri atau mengalienasi diri. pun kita bisa menolak sedikit diri dengan, menyampingkan sedikit gelombang rambut, meratakannya dengan tangan sambil sekali lagi berhenti memandang: menjenguk wajah kita sendiri. atau bergerak maju: menggelombangkan rambut dan sekali lagi lalu berhenti, tersenyum afirmatif, atau mengalienasi diri dengan menerima afirmasi dari mungkin wajah yang lain - mungkin kita hendakkan wajah kita, dalam tata rambut itu, menggelombang dengan jambul elvis presley sambil diri menyiul are you lonesome tonight. benar: saya memang sedang membawakan, atau membahasakan, disertasi prof dr. fuad hasan yang menjadi buku kita dan kami, sambil mengeluarkan kata "neurosis" dari sana dan mungkin di sini pun kita "lepaskan" kembali, untuk semata mengambil dua kata saja yakni kata afirmasi dan/atau alienasi. kita pasangkan dulu kelengkapan rantai tanda di disertasi almarhum prof. dr. fuad hasan, itu. katanya,

"thesis ini berpegang pada pandangan objektif bahwa neurosis ialah suatu modus existensi yang ditandai oleh penghayatan affirmasi diri meliwati alienasi diri."

dan apakah suatu keadaan neurosis yang hinggap dalam inner-kata farez saat ia berkata atau terus mengulang ngulang kata katanya: "hari hari hanyalah sesuatu", terus bergema dan memantul mantul keluar, seolah "sesuatu" itu menjadi titik tolak - menjadi cermin dan kaca itu kini adalah pecahan - "sesuatu", darimana farez melihat, atau mengafirmasi, atau malah terus menerus mengalienasi dirinya dari, "sesuatu" yang bergerak ke pecahan pecahan cermin-kata-nya. demikian jugakah dengan afrilia utami saat, ia menulis:

"lihatlah taman di dadaku
bermain sepercik bunga api
dengan titik hujan"

sedang melakukan afirmasi atau alienasi dirikah penyair afrilia utami ini? dapatkah kata "neurosis" kita lepaskan darinya tapi terus lekat atau, kita lekatkan pada penyair farez haunt? 

"neurosis adalah momen konflik, kata fuad hasan dalam bukunya yang adalah disertasinya itu, "akan tetapi bukanlah suatu konflik patologis pada dasarnya, melainkan suatu konflik existensiil. momen konflik ini disebabkan oleh adanya pertentangan dua gaya intrapsychis yaitu ' the will to be and the seemingly intolerable burden of being which evokes the open or hidden disire no to be." fuad hasan baru saja membawa paul tillich dalam disertasinya, dan kita mencoba secara kreatif untuk membawanya ke dalam pengelihatan, atau pembicaraan, dalam puisi - untuk kita kenakan seperlunya, di mana ia mungkin. untuk kelak, kita pun akan membawanya ke arah lain.

kita terkenang kata kata, eagleton yang turun dengan bahasa ini: "sastra terbuat dari kata kata, bukan objek maupun rasa, dalan salah untuk melihatnya sebagai eksrpesi dari pikiran penulisnya" - sebuah opini yang kelak justru akan kita lihat secara intensif itu. atau malah, oleh tepuk menepuk opini seperti itu - wajah lain dari pengarang telah mati roland bartes ini, kita menulis. boleh kita kenakan itu, saat "ia" telah "terpasang" sebagai karya, sepenuhnya benar karena, bukankah pengarangnya telah mundur, mengasing bahkan mungkin telah hilang lenyap, ke balik, ke dalam karyanya. tapi saat pra-karya terjadi, "itu" bukanlah kebenaran sebuah ucapan. bagaimana kita hendak menghitung, atau membuntuti afrilia atau farez yang sedang melakukan sekaligus "afirmasi" serta "alienasi" diri ini, kalau manusia farez dan manusia afrilia, sebagai manusia "seni fakta" dan kelak, menerjunkan diri mereka ke "seni fiksi" yakni puisi, tidak ada. maka darimana datangnya "sastra" yang tampak, seolah bahasa, kini gemar direnggutkan orang seakan tuhan, sang tiada itu, diminta menepi dan biarkan kami, sendiri atau bersama, menangani tiap apa yang kita sebut sebagai ada ini. maka lihatlah, walau tiap semua seakan berjauhan, tak terhubung, akhirnya titik tunggal itu pun, memanggil kembali seakan sebuah kehendak dari lambaian tangan yang memanggil tubuh burung yang ditanam di bukit bukit jauh. suara terdengar, rangkai tanda dari pertanda serpihan serpihan tubuh burung, serentak terkejut, bangkit dan sejenak diam: siapa yang memanggilku ini?

ah, dia telah memanggil dengan tepuk tangannya. kini aku harus bergegas terbang memenuhi panggilannya. maka begitulah tubuh burung, yang telah menjadi serpihan, atau dunia dengan rangkai planet dan galaksi, seolah tubuh kita sendiri; seolah kata dari tiap bahasa kita sendiri, kini bergerak mengikuti titik utama yang melambai itu. sebuah fasilitas titik, yang memungkinkan tiap penyair dari zaman jaman yang berbeda datang dan bertemu seolah vokal yang lambai melambaikan dengan konsonannya. akibatnya, interteks bukanlah semata misal farez atau afrilia, membaca sapardi atau amir atau goenawan, tapi muncul dari watak sejati tiap ada, ada benda, sebagai cermin, ada kata, sebagai cermin. mereka seolah gelombang dengan airnya: saling naik dan turun, untuk menuju pantainya atau kembali ke tengahnya lagi.

Pada suatu hari, hari-hari hanyalah sesuatu. aku menjadi satu yang membelah diri. agar aku tak merasa sendiri. kata farez, yang tak ada maksud untuk memanggil afrilia. tapi tidakkah afrilia menjawab farez, dengan kata kata: farez, lebih baik kamu bermain, di taman di dadaku saja. membelah diri di sana. lihatlah taman di dadaku (ini)/ (tempat kau) bermain sepercik bunga api, (tempat kau dan aku bermain)/dengan titik hujan, farezku sayang.

Afrilia Utami
(24 Mei 2011 19:06)

Sepercik Api, Titik Hujan

    lihatlah taman di dadaku
    bermain sepercik bunga api
    dengan titik hujan

Tiap hujan kualirkan matapena, menuju hilir yang tak bernama muara. Mengambil tali layang-layang, dan menarik langit lebih dekat. Agar gerimis lebih jadi hujan di telapak garis tangan. Memang dingin, memang aku yang mengikat dingin ini. Mencari sesudut ruang dengan tungku berjari api unggun. Kubawa dari sisi hujan, masih santun dan anggun. Hujan kali ini bermata curiga, menunggu lagu-lagu gua yang terlahir semata karena waktu, yang sebagiannya kita sebut syurga karena rindu tak lagi berpura.

Dalam surau ini, hujan mengajak bergurau. Sekaratku jadi racau, yang kian kacau. Kelak akan ada hujan yang hangat buatmu seriang dulu. Mengajak cacing tanah, kumbang kembang, para jangkrik, dan belalang-belalang yang baru pulang dari ilalang bersama matahari tua. Saga senja, membawa raga, do'a-do'a kehidupan. Mereka menari depan dada halaman yang kita tanam dengan cara rahasia. Hingga sama lupa, kapan terakhir kali kau jadi pawang pengendali hujan, dengan semerbak bunga yang wanginya ada baumu. Sepercik bunga api. Dari pinggir riak kecil mengalir.

    Biar tubuhku menggigil
    jika kelak aku menjelma tangkai

 Maret 2011


pra-kata

mengapakah seseorang menyebut api, panas itu, dan mengapa pula seseorang yang sama membawa air, ke dalam api-nya yang panas itu? ia memang tak menyebutkan air itu sebagai air, tapi titik hujan, dan, titik hujan bukankah air juga, bukan? barangkali kalau orang biasa yang membawanya, katakanlah orang di rumah tangga, maka api tentu untuk menanak mungkin nasi, dan air itu - kita harus memutar air hujan ke air mineral, tentulah untuk menanak nasi itu: tak kuasa beras itu kita tanak tanpa air walau ada api-nya. dulu ibu mengajarkan kepadaku cara menanak nasi: celupkan jari tengahmu, nak, untuk mengukur kedalaman air dalam panci - panci ini disebutkan juga oleh afrilia kalau tak salah bukan dalam puisi ini (tadi dengan cepat aku melihat semua dunia seni kata katanya dan aku kagum: lama aku termenung di sana, di taman kata kata kawanku di fb ini; terdiam dan merenung, betapa kata kata sudah dibuat orang sedemikian rupa. dan betapa pula tempatnya, religius sekali: sunyi saja di maya). ya, dalam panci itulah kita menanak beras, dengan air dan api yang terjerang di atas mungkin kompor. beras jadi nasi untuk terus menumbuhkan hidup. tapi ini bukanlah keseharian itu: ini puisi, dengan api dan air yang direkatkan ke dada sang aku dalam puisi: aku lirik ini seolah bergumam saja menyebutkan tiap pikirannya, "di sepercik api", ada "titik hujan", katanya.api apa itu? titik hujan apa itu? nyatalah kita tak juga hendak berhenti untuk menjadi mahluk itu: manusia yang bertanya tanya, seolah api dan air itu - saling mungkin menolakkan dirinya masing masing. ya, memang puisi, sebuah dunia angkutan dari dunia luaran - penyair memindah realitas itu ke dalam bahasa - puisi. esai ini hanya kecil saja: merayakan bahasa - puisi.


otonomi sastra

ada juga gunanya untuk dikatakan: mengapa mungkin seseorang atau banyak orang, senang menulis di maya seraya menulis juga di media massa cetak. bahwa di maya tersedia ruang lebar untuk melakukan eksplorasi antara dunia sastra ciptaan kreatif ke dunia gagasan yang boleh jadi adalah ide ide generatif, seperti yang disebutkan oleh susanne langer, dan menarik pendapat david apter yang menulis: ide ide generatif tidak mudah dihasilkan dalam usaha ilmiah, tetapi berkembang dari kontradiksi kontradiksi dan perbedaan perbedaan pendapat yang logis mengenai asas, serta analisa analisa data... apabila ilmu dapat merangsang ide ide itu, maka kita menginginkan ilmu. apabila ia mencekik dan melumpuhkannya, maka ilmu pengetahuan tidak berarti.

selaku sastrawan saya akrab dengan dunia linguistik, seperti banyak sastrawan juga yang mengakrabkan diri dengan bidang yang sama: bahasa - orientasi ilmu linguistik itu. selalu ada gunanya pengelihatan teoritik walau kita selaku sastrawan, dalam mencipta, taklah membawa prinsip prinsip dalam teori untuk membuat novel atau puisi. dalam kerangka ide ide generatif, tentu saja metode ini dimungkinkan, di mana seseorang menciptakan sastra kreatif seraya menciptakan teori dalam sastra. kita belum tahu misalnya mana batas tubuh novel dan mana batas bukan tubuh novel. apakah saat merari membuat "kredo novel" dengan menuliskan "permulaan kalam" dalam novelnya azab dan sengsara, bahwa, "saya mengarang cerita ini, dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah-tengah bangsaku, lebih lebih lagi di antara orang yang berlaki-istri. harap saya diperhatikan oleh pembaca. hal hal dan kejadian yang tersebut dalam buku ini, meskipun seakan akan tiada mungkin dalam pikiran pembaca, adalah benar belaka, cuma waktunya terjadi kuatur - artinya dibuat berturut turut - supaya cerita itu lebih nyata dan terang."

apakah itu luar novel? kalau demikian lalu kita memperlakukannya sebagai bukan isi sastra, bagian sah dari novel merari. tapi bagaimana kalau kita hendak mendorongnya masuk, menjadi bagian sah dari tubuh novel, sehingga ia kini bukanlah lagi semacam pikiran yang menjadi landasan mengapa sang penulis balai pustaka ini memerlukan sastra, dalam memprotes ketimpangan adat yang "mencekik" dunia perempuan waktu itu - mereka tak bisa "keluar" rumah, mereka harus patuh oleh adatnya akan apa dan mengapa hidupnya - dan hasilnya adalah cerita yang amat indah yakni novel azab dan sengsara. indah? untuk ini juga kita menuliskan esai ini: merayakan keindahan ciptaan sastrawan dan penyair, yang memang indah itu. tapi kalau kita mendorongnya masuk, tak kah kita terkena hukum sastra yang dikononkan otonom itu? sastra itu adalah dunia otonom, dan orang sana atau orang sini mengatakan hal yang sama juga: bahwa sastra itu memang dunia otonom. tapi apakah otonom itu? kosakata itu di negeri negara kita kini, adalah daerah mengatur hidupnya sendiri. artinya, melibatkan hak eksistensi. sastra kreatif itu dunia otonom. artinya: ia diciptakan oleh unsur unsur yang dilekatkan oleh sang sastrawan itu sendiri. otonomi yang, kalau kita lihat sastra kita atau sastra luar, memang memperlihatkan suatu cara yang membuka peluang lebar untuk menyimpang. chairil menjauh dari rekan rekannya - rimbaud menulis semusim di neraka seolah novel pendek - tapi puisi. itulah dunia otonomi itu. hak sastrawan untuk melebar ke mana daerah yang ia minati. kalau kini lalu datang pengelihatan teori, apakah teori juga adalah dunia yang otonom? apakah teori sastra adalah semata untuk melihat sastra? bukankah otonom adalah berbahasa yang sama dengan isi konsep yang sama? sastra kreatif adalah dunia otonom, dia mengatur dirinya sendiri, dan ini meniscayakan teori yang hendak masuk pun, adalah sebuah teori yang memiliki kesamaan bahasa terhadap bahasa dunia sastra. tampaknhya pendapat ini meyakinkan, dan untuk itu mari kita turunkan opini teoritik eagleton, akan otonomi sastra ini.





  • Share: